Selamat Datang di blog Miftachul Huda Welcome to the blog Miftachul Huda

Rabu, 10 Oktober 2012

DOWNLOAD VIDIO PENCAK SILAT DI PLERINGAN

Pagelaran pencak silat yang di adakan di Dusun Pleringan Desa Krenceng Kecamatan Kepung pada tanggal 08 September 2012.
Untuk memperingati Hari Kemerdekaan INDONESIA..
Jika ingin mendownload silakan klik link dibawah ini. vidio ini berformat 3gp.


DOWNLOAD VIDIO 1

DOWNLOAD VIDIO 2


 Terimakasih.... (^_^)

Minggu, 07 Oktober 2012

3. Pemakaian Kata Dalam Bahasa Indonesia


            Morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya. Alomorf adalah variasi bentuk dari suatu morfem disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang dimasukinya. Kata adalah kesatuan-kesatuan yang terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kalimat dibagi atas bagian-bagianya, dan yang menngandung suatu ide. Nasalisasi adalah proses merubah atau memberi nasal pada fonem-fonem.  
1.1          Pilihan Kata (diksi)
Diksi ialah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia karang-mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari. Dalam memilih kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, kita tidak dapat lari dari kamus. Kamus memberikan suatu ketepatan kepada kita tentang pemakaian kata-kata. Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang diperlukan.
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu.[1]
1.1.1           Keserasian Pilihan Kata
Penulis karangan, sadar tidak sadar, berhadapan dengan masalah pemilihan kata, kadang-kadang komunikasi dapat juga efektif dengan kosakata terbatas atau kurang tepat, tetapi pengenalan jumlah kata yang terbatas berarti juga pembatasan sumber daya untuk mengungkapkan diri di dalam kehidupan berbahasa.
Di samping saran umum yang biasanya diajukan kepada orang yang ingin memperluas kosa katanya, yakni, (1) pemakaian kamus umum dan kamus sinonim yang baik, (2) pemasukan kata baru di dalam tulisan dan pembicaraan, dan (3) usaha membaca jenis tulisan yang sebanyak-banyaknya, ada jalan lain untuk mencapai kosa kata yang luas dan untuk memperoleh kepekaan bahasa yang lebih luas.
Kita dapat memilih kata baik karena denotasinya maupun karena konotasinya. Denotasi kata ialah arti harfiahnya. Denotasi dapat juga diartikan hubungan antara kata (atau ungkapan) dengan barang, orang, tempat, sifat, proses, dan kegiatan di luar sistem bahasa (dan yang  disebut denotatanya). Jadi denotata kata kuda ialah ‘kelas hewan mamalia pemakan rumput yang dipelihara manusia untuk menarik muatan, mengangkut barang, atau untuk dikendarai’. Konotasi itu dapat bersifat pribadi dan bergantung pada pengalaman orang seorang dengan kata atau dengan barang atau gagasan yang diacu oleh kata itu. Misalnya, bagi beberapa orang kata ular, jaksa, radikal,  mempunyai nilai rasa tambahan.
Selanjutnya kita dapat memilih di antara kata yang kongkret dan kata yang abstrak. Kata yang kongkret mengacu ke barang yang spesifik di dalam pengalaman kita. Kata yang kongkret dapat efektif sekali di dalam karangan pengisahan (narasi) dan pemerian (deskripsi) karena merangsang pancaindera. Namun, tidak semua karangan perlu bersifat kongkret. Kata abstrak ialah kata yang merujuk sifat (panas, dingin, baik), ke nisbah (keperiadaan atau eksistensi, jumlah, urutan), dan gagasan (keadilan, keberterimaan, kesatuan). Kata abstrak sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang rumit. Kata itu mampu menjelaskan perbedaan yang halus di antara gagasan yang bersifat teknis dan khusus. Walaupun begitu, kita hendaknya berhati-hati jika menggunakan kata abstrak sebab karangan yang dihamburi kata abstrak dapat menjadi samar dan tidak cermat. Ambillah sebagai contoh, penggalan yang berikut ini.
“….Saya pikir, hakiki Pancasila adalah sifat monodualisme manusia. Yaitu, sifat dasar manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial; makhluk yang terlibat dalam kehidupan spiritual dan jasmaniah. Persoalannya sekarang, sampai seberapa jauh kedua hal itu bias berperanan dalam posisi berimbang. Di satu pihak, dari kacamata yang berkuasa tampak ada kekuatiran terganggunay stabilitas, sehingga bobotnya lebih ditekankan pada kolektivitas. Tetapi dari segi lain, keadaan seperti ini belum cukup memberi peluang bagi partisipasi politik.” (Kompas, 18 Nov. 1981)

Salah pakai kata abstrak tidak saja menyamarkan maksud penulis - yang tidak jarang sangat terpelajar, tetapi kata itu juga menyebabkan karangannya tampak kaku.
Pemilihan yang berikut ialah di antara kata umum dan kata khusus. Kata umum dipakai untuk mengungkapkan gagasan atau ide yang umum, sedangkan kata khusus digunakan untuk seluk-beluknya atau perinciannya. Kata umum ialah kata yang dapat diterapkan pada banyak hal, pada kumpulan, atau pada keseluruhan sifat barang. Jika kata itu, sebaiknya, hanya mengacu ke beberapa sifatnya itu atau ke beberapa bagiannya saja, kata itu disebut khusus. Kata pakaian, misalnya, termasuk kata umum, tetapi celana jengki biru menggambarkan ide yang khusus.
Kata umum dan kata khusus tidak selalu sama dengan kata abstrak dan kata kongkret. Kata umum tidak dengan sendirinya abstrak, dan kata kongkret tidak selalu khusus. Ambillah contoh kata saudara yang bersifat umum karena denotatanya banyak, tetapi yang jelas tidak abstrak. Sebaliknya, kata itu tidak begitu khusus walaupun kongkret. Untuk mengkhususkannya kita perlu memilih di antara kata abang, adik, sepupu, saudara dua pupu, saudara tiri, saudara susuan, dan sebagainya
1.1.2          Kecermatan dan Ketepatan Pemakaian Kata
Di dalam percakapan pemakaian frasa tidak mengganggu, tetapi di dalam tulisan ungkapan yang ringkas menjadikan diksi lebih sarat informasi. Bandingkanlah:mengadakan penelitian dengan meneliti, disebabkan oleh fakta dengan karena, mengajukan saran dengan menyarankan, melakukan kunjungan dengan berkunjung; meninggalkan kesan yang mendalam dengan sangat mengesankan; mengeluarkan pemberitahuan dengan memberitahukan. Tentu bukan maksudnya kita selalu harus memilih kata yang ringkas; yang penting ialah kita jangan selalu memilih frasa yang panjang jika ada padanannya yang lebih ringkas.
Pemakaian pewatas yang berlebih dapat mengurangi kekuatan dan kecermatan diksi. Jika nomina dan verba masing-masing sudah dapat menjelaskan maksud, maka kita tidak perlu menambahkan pewatas yang sebenarnya tidak memperjelas keterangan. Kata atau ungkapan yang banyak disalahgunakan antara lain ialah cukup, relatif, pasti, sering, sangat, banyak, selalu, sama sekali. Misalnya, cukup memuaskan, relatif lebih murah, pasti menang, sering menyalahgunakan kekuasaan, sangat meyakinkan, banyak pejabat yang tidak mau bertanggung jawab, selalu datang terlambat, sama sekali belum makan.
Diksi yang cermat dan kuat berkurang nilainya karena pemakaian ungkapan klise, yakni frasa yang sudah terlalu sering digunakan penulis yang tidak berdaya cipta dan yang malas berpikir. Pidato dan uraian tidak jarang terjadi dari untaian ungkapan yang berulang-ulang muncul dalam karangan yang sejenis. Misalnya masyarakat yang adil dan makmur, maaf lahir batin, terima kasih sebelum dan sesudahnya, demi pembangunan manusia seutuhnya, menurut Undang-undang Dasar ’45 dan Pancasila, ilmu dan teknologi, terancam gulung tikar; agar unik, tonggak sejarah, arti tersendiri, saudara sebangsa dan setanah air, dengan segala kerendahan hati, generasi penerus, pembunuhan sadis. Karena lazimnya, pemakaian klise tidak dapat dihindari di dalam tulisan. Yang harus dijaga ialah pemakaiannya yang berlebih.
Selanjutnya harus dibedakan diksi yang tidak cermat – yang hanya menegaskan sesuatu dengan kira-kira – dengan diksi yang tidak tepat, tidak betul, atau tidak kena. Diksi yang tidak cermat berhubungan dengan pikiran yang kabur, diksi yang tidak betul dengan ketidaktahuan. Misalnya, nyaris mendapat hadiah, menduduki juara pertama, merupakan contoh diksi yang tidak cermat. Kata merubah alih-alih mengubah, desertasi alih-alih desersi, profanasi alih-alih pelemahan ketahanan, akridasi alih-alih akreditasi, merupakan contoh diksi yang tepat.


1.2         Semantik (Makna Kata)
Makna kata berarti maksud suatu kata atau isi suatu pembicaraan atau pikiran. Makna suatu kata diartikan pula sebagai hubungan antara lambang-lambang bahasa, baik itu yang berupa ujaran ataupun tulisan, dengan hal atau barang yang dimaksudkannya.[2]
Makna kata bermacam-macam jenisnya. Ada yang disebut makna leksikal dan makna gramatikal atau struktural, makna denotatif dan makna konotatif, dan sebagainya
1.2.1          Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Pembagian kedua jenis makna tersebut berdasarkan ada atau tidak adanya perubahan bentuk kata. Kata yang belum mengalami perubahan bentuk, kata itu mengandung makna leksikal. Namun demikian, apabila kata itu telah mengalami perubahan, baik itu yang berupa pengimbuhan, perulangan, ataupun pemajemukan, kata itu mengandung makna gramatikal. Demikian pula apabila telah digunakan dalam kalimat, makna yang dikandung kata itu berupa makna gramatikal.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dirumuskan pengertian-pengertian sebagai berikut:
a.       Makna leksikal, adalah makna suatu kata sebelum mengalami proses perubahan bentuk ataupun belum digunakan dalam kalimat. Makna leksikal seting pula disebut makna kamus. Makna leksikal adalah makna yang berdasarkan kamus. Untuk mengetahui makna leksikal suatu kata, dalam kamuslah makna itu adanya.
b.      Makna gramatikal, adalah makna suatu kata setelah kata itu mengalami proses gramatikalisasi, baik itu melalui pengimbuhan, pengulangan, ataupun pemajemukan. Makna gramatikal suatu kata bisa sama, berubah, atau bahkan berbeda sama sekali dengan makna leksikalnya. Makna gramatikal sangat bergantung pada struktur kalimatnya. Oleh karena itu, makna gramatikal sering pula disebut makna struktural.
Contoh:
Jenis makna         Contoh kata               Makna
Leksikal                 ibu                               orang yang melahirkan
Gramatikal            keibuan                        bersifat seperti seorang ibu (orang yang melahirkan, penuh sayang)
Contoh lainnya adalah perbedaan makna pada kata didik, pendidik, pendidik-pendidik, dan pendidikan. Sebelum membentuknya menjadi kata berimbuhan, kata didik masih mengandung makna leksikal. Setelah diberi imbuhan, misalnya menjadi pendidik atau pendidikan, kata itu telah mengandung makna gramatikal. Imbuhan pe- menyebabkan penambahan makna pada kata didik, yakni bermakna ‘orang’ atau ‘pekerjaan’ (orang yang pekerjaannya mendidik). Demikian halnya, bila kata itu diberi imbuhan pe-an, maknanya bertambah menjadi ‘hal yang berhubungan mendidik’. Apabila yang dikehendaki bermakna ‘banyak pendidik’, kata itu harus diubah menjadi pendidik-pendidik; bila yang dikehendaki bermakna ‘perbuatan’, kata itu diubah menjadi ‘mendidik’.
Perubahan-perubahan tersebut tidak menyebabkan makna didik berubah seluruhnya. Makna leksikalnya, baik setelah berubah menjadi mendidik, pendidik, maupun pendidikan, masih dapat ditelusuri. Berdasarkan kamus itulah, makna leksikal kata didik dapat kita ketahui.
Cara tersebut dapat dilakukan terhadap kata-kata bentukan yang lain. Makna leksikal itulah yang dapat dijadikan dasar penentuannya. Untuk makna pengelolaan misalnya, pertama-tama yang harus kita cari adalah makna leksikal dari kata kelola. Kemudian, kita mencari arti imbuhan pe(N)-an untuk menentukan makna gramatikalnya
1.2.2         Makna Denotatif dan Makna Konotatif
. Pembagian kedua jenis makna itu didasarkan ada-tidaknya perubahan pada makna dasar suatu kata. Apabila pada kata itu tidak ada perubahan makna, maka kata itu mengandung makna denotasi. Sebaliknya, apabila kata itu mengalami perubahan makna, maka kata itu mengandung makna konotasi. Makna denotasi disebut juga makna lugas. Kata itu tidak mengalami penambahan-penambahan makna. Makna kata itu sesuai dengan konsep asal, apa adanya.
Makna konotasi adalah makna yang berdasarkan perasaan atau pikiran seseorang. Makna konotasi sebenarnya merupakan makna denotasi yang telah mengalami penambahan. Berdasarkan perasaan atau pikirannya, seseorang melakukan penambahan-penambahan makna, baik itu yang berupa pengkiasan ataupun perbandingan dengan benda atau hal lainnya. Ada tidaknya penambahan makna pada suatu kata, diketahui dari konteks penggunaannya dalam kalimat. Berdasarkan hal itu, makna konotasi sering pula disebut makna kias atau makna kontekstual.
Contoh:
Jenis makna                 Contoh kata                 Makna
Denotasi                      ibu guru                       perempuan yang pekerjaannya mengajar
                                    Ibunya Amir                perempuan yang melahirkan Amir
Konotasi                      ibu kota                       pusat pemerintahan
                                    Ibu jari                         jari yang paling besar, jempol
1.2.3         Gejala-gejala Perubahan Makna Kata
Dalam penggunaannya, suatu kata sering kali mengalami perubahan makna. Perubahan yang dimaksud dapat berupa perluasan, penyempitan, peninggian, perendahan, dan sebagainya.
Perluasan Makna (generalisasi), terjadi apabila cakupan makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.
Contoh kata        Makna asal                                             Makna baru
Ibu                      emak                                                    setiap perempuan dewasa, nyonya
Bapak                 ayah                                                     setiap laki-laki dewasa, tuan
Penyempitan makna (spesialisasi), terjadi apabila makna suatu kata lebih sempit cakupannya daripada makna asalnya.
Contoh kata        Makna asal                                             Makna baru
Ulama                 orang yang berilmu                                 pemuka Islam
Sarjana                cendikiawan                                           gelar universitas
Ameliorasi adalah perubahan makna kata yang nilai rasanya lebih tinggi daripada asalnya.
Contoh kata        Makna asal                                             Makna baru
Wanita                lebih rendah daripada perempuan             lebih tinggi daripada perempuan
Peyorasi adalah perubahan makna kata yang nilainya menjadi lebih rendah daripada sebelumnya
Contoh kata        Makna asal                                          Makna baru
Fundamentalis    Orang yang berpegang pada prinsip     orang yang hidup eksklusif, mengutamakan kekekerasan
Kroni                  sahabat                                                kawan dari seorang penjahat
Sinestesia adalah perubahan makna kata akibat pertukaran tanggapan antara dua indra yang berlainan
Contoh kata              Makna asal                                    Makna baru
Kata-katanya pedas   indra pengecap                              indra pendengaran
Berwajah dingin         indra perasa                                   indra penglihatan
Asosiasi adalah perubahan makna kata yang terjadi karena persamaan sifat.
Contoh kata        Makna asal                                          Makna baru
Amplop              wadah untuk memberi uang                suap
Buaya                 binatang buas                                      orang jahat


[1] Zaenal A. dan Amran Tasai. h. 25.
[2] E. Kosasih. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan. (Bandung: Yrama Widya, 2004). h. 172-183

2. Ejaan Bahasa Indonesia


        Menurut Zaenal A. dan Amran Tasai (2003: 170) [1]ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana hubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Sedangkan Abdul Chaer (1998: 36) menjelaskan pada hakekatnya ejaan itu tidak lain dari konvensi grafis, perjanjian di antara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya.[2] Biasanya ejaan itu bukan hanya soal pelambangan fonem dengan huruf saja, tetapi juga mengatur tata cara penulisan kata dan kalimat, beserta dengan tanda-tanda bacanya.[3] Termasuk di dalamnya: penulisan kata dasar, kata turunan, kata ulang, gabungan kata, kata depan dan partikel lain, angka dan bilangan; serta penulisan unsur serapan atau pungutan.
Layaknya sebuah tulisan, selain kejelasan, kelugasan, dan komunikatif, ada juga ejaan. Ejaan mempunyai peranan yang cukup besar dalam sebuah tulisan. Di dalam penulisan artikel ilmiah, masalah ejaan harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Jadi, pemakaian tanda baca juga tercantum dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) itu. Kapan kita menggunakan tanda titik, koma, titik koma, titik dua, dan ellipsis; kapan pula kita menggunakan tanda kurung, tanda pisah, tanda hubung, dan seterusnya. Namun, untuk keperluan penulisan karya ilmiah, pemakaian ejaan dan tanda baca itu juga diwarnai oleh kebijakan gaya selingkung.

2.1         Ejaan Van Ophuijsen
Pembakuan ejaan telah dimulai tahun 1901 ditetapkan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen atau Ejaan Balai Pustaka. Van Ophuijsen merancang ejaan itu dibantu oleh Tengku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim[4] dalam buku Kitab Logat Melajoe.[5] Hal-hal yang menonjol dalam ejaan van Ophuijsen adalah (1) Huruf j  untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, (2) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, (3) Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,’akal, ta’, pa’.
2.2        Ejaan Soewandi/Ejaan Republik
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan untuk menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah (1) Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur, (2) Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakyat, (3) Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, berjalan2, ke-barat2-an, (4) Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.[6]
2.3        Ejaan Melindo (Melayu- Indonesia)
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.
2.4        Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah (1) Perubahan huruf dari Ejaan Soewandi menjadi Ejaan yang Disempurnakan, yaitu dj > j, j > y, nj > ny, sj > sy, tj > c, dan ch > k, (2) Huruf-huruf f, v, dan z, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya, (3) Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai, (4) Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan yang mengikutinya, (5) Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.
Sebagai penulis, kita harus tunduk pada EYD untuk pedoman dalam penggunaan Ejaan. Dalam penulisan ilmiah, Wahyu Wibowo dalam Tim Penulis (Dosen PBSI) menjelaskan bahwa masalah ejaan yang sering muncul adalah (1) penulisan preposisi “di”, “ke”, “dari”, (2) penulisan gabungan kata, (3) penulisan akronim, (4) penulisan nama geografi, dan (5) penulisan kata yang lazim.[7]
2.4.1         Penulisan Preposisi (Kata Depan) “di”, “ke”, “dari”
Kata “di”, “ke”, ”dari”, di atas dapat berupa preposisi dan dapat berupa afiksasi. Penulisan preposisi seharusnya dipisah dari huruf yang mengikuti. Namun penulisan afiksasi harus disambung dengan kata yang mengikutinya. Pada praktiknya sulit membedakan kapan disambung dan kapan dipisah. Untuk membedakan kedua istilah itu, dapat digunakan alat pengetes.
Jika “di”, “ke”, “dari”, berfungsi sebagai preposisi yang dituliskan terpisah dari kata yang mengikutinya dan dapat dipasangkan dengan ketiganya. Namun,  penulisan “di”, “ke”, “dari”, yang berfungsi sebagai afiks, dituliskan menyambung dengan kata yang mengikutinya. Caranya kembalikan ke dalam bentuk kalimat aktif me- khususnya yang berasal dari afiks di-.
2.4.2        Penulisan Gabungan Kata
Penulisan gabungan kata sangat menyulitkan bagi penulis yang belum memahami. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk. Gabungan kata ini ada yang penulisannya dirangkai dan ada juga yang ditulis terpisah. Gabungan kata yang ditulis terpisah seperti meja tulis, orang tua, dan rumah sakit. Namun yang ditulis serangkai seperti bilamana, daripada, manakala dan matahari.
Pada bentuk lain gabungan kata atau sering disebut dengan kata bentukan ditulis terpisah seperti kerja sama, kambing hitam, sebar luas, tanda tangan, dan tanggung jawab. Namun gabungan kata ini jika mendapat imbuhan di awal atau di akhir akan berubah sesuai dengan imbuhannya.
Contoh:  Sama, bekerja sama, dikerjasamakan
               Kambing hitam, dikambinghitamkan, mengambinghitamkan
2.4.3        Penulisan Singkatan dan Akronim
Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan terdiri atas satu huruf atau lebih. [8]
1.      Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik.
2.      Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
3.      Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik.
4.      Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
a.       Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Misalnya: ABRI, LAN, PASI, IKIP, SIM
b.      Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.
Misalnya: Akabri, Bappenas, Iwapi, Kowani, Sespa.
c.       Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil
Misalnya: pemilu, radar, rudal, tilang
Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. (2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
2.4.4        Penulisan Nama Geografi
Nama geografi ditulis menggunakan huruf pertama kapital. Nama geografi ditulis dalam satu suku kata atau serangkai dan yang berupa arah mata angin ditulis tidak serangkai.
Contoh:  Bukittinggi, Sawahlunto, Baturaja, Jayawijaya
Arah mata angin digunakan sebagai nama geografi juga tetap ditulis terpisah meskipun nama wilayah itu hanya terdiri atas dua unsur.
Contoh:  Jakarta Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatra Selatan.
2.4.5        Penulisan Kata yang Lazim
Penulisan kata yang lazim adalah kata yang sudah dikenal oleh masyarakat. Kata yang lazim sering sejalan dengan kata yang baku, yakni kata yang baik dan resmi. Dengan demikian kata yang tidak resmi kemunculannya dalam tulisan ilmiah harus dihindari. Kata-kata itu dapat berupa kata kedaerahan seperti
“bilang”
“banget”
“ngebaca”
Berkaitan dengan ejaan dan pembentukan kata, sebagai penulis artikel ilmiah hendaknya tidak mengabaikan peristilahan.
2.4.6        Penulisan Angka
1        Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
Angka Arab           : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi      : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X
                                       L (50), C (100), D (500), M (1.000)
2        Angka digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.
Misalnya: 4 meter, 5 kilogram, 10 liter, Rp. 5.000,00, pukul 15.00, 27 orang
3        Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat.
Misalnya: Jalan Tanah Abang I No. 15
4        Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci
Misalnya: Surah Yasin: 9; Bab X, Pasal 5, halaman 252.[9]
2.4.7        Penulisan Kata Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sanskekrkta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, l’exploitation de l’homme par l’homme. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.(EYD,21)
Di samping itu, akhiran yang berasal dari bahasa asing diserap sebagai bagian kata yang utuh. Kata seperti standardisasi, implementasi, dan objektif diserap secara utuh di samping kata standar, implement, dan objek
Berikut ini didaftarkan sebagian kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang sering digunakan oleh pemakai bahasa.[10]
Kata Asing                  Penyerapan yang Salah                        Penyerapan yang Benar
System                         sistim                                                   sistem
Kuitantie                     kwitansi                                               kuitansi
Carier                           karir                                                     karier
2.4.8        Penggunaan Pungtuasi (Tanda Baca)
Pungtuasi ialah tanda baca yang dibakukan ke dalam tulisan agar makna dan satuannya dalam konstruksi menjadi lebih jelas. Termasuk di dalamnya: penulisan tanda titik, tanda koma, tanda titik dua, tanda elipsis, tanda tanya, tanda kurung, tanda petik, dan tanda garis miring.
2.5        Bahan Baku Istilah Indonesia
Tidak ada satu bahasa pun yang sudah memiliki kosa kata yang lengkap dan tidak memerlukan ungkapan untuk gagasan, temuan, atau rekacipta yang baru. Bahasa Inggris yang kini dianggap bahasa internasional utama, misalnya, pernah menyerap kata dan ungkapan dari bahasa Yunani, Latin, Prancis, dan bahasa lain, yang jumlahnya hamper tiga perlima dari seluruh kosakatanya. Sejalan dengan itu, bahan istilah Indonesia diambil dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yakni (1) bahasa Indonesia, termasuk unsur serapannya, dan bahasa Melayu, (2) bahasa Nusantara yang serumpun, termasuk bahasa Jawa Kuno, dan (3) bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Istilah yang mengungkapkan konsep hasil galian ilmuwan dan pandit Indonesia, seperti bhinneka tunggal ika, batik, banjar, sawer, gunungan, dan pamor, telah lama diterima secara luas sehingga dapat dimantapkan dan hasilnya dikodifikasi.
Pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, dan jika perlu ke salah satu bahasa serumpun, dilakukan lewat penerjemahan, penyerapan, atau gabungan dari penerjemanan dan penyerapan. Demi keseragaman, sumber rujukan yang diutamakan ialah istilah Inggris yang pemakaiannya bersifat internasional karena sudah dilazimkan oleh para ahli dalam bidangnya. Penulisan istilah serapan itu dilakukan dengan atau tanpa penyesuaian ejaannya berdasarkan kaidah fonotaktik, yakni hubungan urutan bunyi yang diizinkan dalam bahasa Indonesia.
1)      Penerjemahan
Istilah Indonesia dapat dibentuk lewat penerjemahan berdasarkan kesesuaian makna, tetapi bentuknya tidak sepadan, misalnya: supermarket menjadi pasar swalayan, merger menjadi gabung usaha.Penerjemahan dapat pula dilakukan berdasarkan kesesuaian bentuk dan makna, misalnya: bonded zone menjadi kawasan berikat.
Penerjemahan istilah asing memiliki beberapa keuntungan. Selain memperkaya kosa kata Indonesia dengan sinonim, istilah terjemahan juga meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia. Jika timbul kesulitan dalam penyerapan istilah asing yang bercorak Anglo-Sakson karena perbedaan antara lafal dan ejaannya, penerjemahan merupakan jalan keluar terbaik. Dalam pembentukan istilah lewat penerjemahan perlu diperhatikan pedoman berikut.
a.       Penerjemahan tidak harus berasas satu kata diterjemahkan dengan satu kata. Misalnya: psychologist menjadi ahli psikologi
b.      Istilah asing dalam bentuk positif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk positif, sedangkan istilah dalam bentuk negatif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk negatif pula. Misalnya: bound form  menjadi bentuk terikat
c.       Kelas kata istilah asing dalam penerjemahan sedapat-dapatnya dipertahankan pada istilah terjemahannya. Misalnya: merger (nomina) menjadi gabung usaha (nomina)
d.      Dalam penerjemahan istilah asing dengan bentuk plural, pemarkah kejamakannya ditanggalkan pada istilah Indonesia. Misalnya: alumni menjadi lulusan, master of ceremonies menjadi pengatur acara
Adakalanya upaya pemadanan istilah asing perlu dilakukan dengan menciptakan istilah baru. Misalnya, pemadanan catering menjadi jasa boga dan invention menjadi rekacipta diperoleh lewat perekaan.[11]
2)     Penyerapan
Penyerapan istilah asing untuk menjadi istilah Indonesia dilakukan berdasarkan hal-hal berikut.
a.       Istilah asing yang akan diserap meningkatkan ketersalinan bahasa asing dan bahasa Indonesia secara timbal balik (intertranslatability) mengingat keperluan masa depan.
b.      Istilah asing yang akan diserap mempermudah pemahaman teks asing oleh pembaca Indonesia karena dikenal lebih dahulu.
c.       Istilah asing yang akan diserap lebih ringkas jika dibandingkan dengan terjemahan Indonesianya.
d.      Istilah asing yang akan diserap mempermudah kesepakatan antarpakar jika padanan terjemahannya terlalu banyak sinonimnya.
e.       Istilah asing yang akan diserap lebih cocok dan tepat karena tidak mengandung konotasi buruk.
Proses penyerapan istilah asing, dengan mengutamakan bentuk visualnya, dilakukan dengan cara yang berikut.
a.       Penyerapan dengan penyesuaian ejaan dan lafal, misalnya: camera [kæměra] menjadi kamera [kamera]
b.      Penyerapan dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, misalnya: design [disaīn] menjadi desain [desain]
c.       Penyerapan tanpa penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian lafal, misalnya: radar [reidar] menjadi radar [radar]
d.      Penyerapan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal
(1)   Penyerapan istilah asing tanpa penyesuaian ejaan dan lafal dilakukan jika ejaan dan lafal istilah asing itu tidak berubah dalam banyak bahasa modern, istilah itu dicetak dengan huruf miring. Misalnya: divide et impera,esprit de corps, status quo
(2)   Penyerapan istilah tanpa penyesuaian ejaan dan lafal dilakukan jika istilah itu juga dipakai secara luas dalam kosakata umum, istilah itu tidak ditulis dengan huruf miring (dicetak dengan huruf tegak). Misalnya: internet, golf, lift, sonar.[12]



3)     Gabungan Penerjemahan dan Penyerapan
Istilah bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan menerjemahkan dan menyerap istilah asing sekaligus, misalnya: bound morpheme menjadi morfem terikat, subdivision menjadi subbagian.[13]


[1] Zaenal A. dan Amran Tasai.. h.170.
[2] Abdul Chaer. h. 36.
[3] E. Kosasih. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya, 2004. h. 200.
[4] Abdul Chaer dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. h. 306-307.
[5] Gorys Keraf. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah, 1985. h. 48.
[6] Zaenal A. dan Amran\ Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia.2003. h. 170-173.
[7] Tim Penulis (Dosen PBSI). h.
[8] As’ad Sungguh. Ejaan Yang Disempurnakan. Jakarta: Bumi Aksara, 2001. h. 15.
[9] EYD. h. 18.
[10] Zaenal A. dan Amran Tasai. h. 202.
[11] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. h. 3-6.
[12] Ibid., h. 6-8.
[13] Ibid., h. 20.