Menurut Zaenal A. dan Amran Tasai (2003: 170) [1]ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana hubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Sedangkan Abdul Chaer (1998: 36) menjelaskan pada hakekatnya ejaan itu tidak lain dari konvensi grafis, perjanjian di antara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya.[2] Biasanya ejaan itu bukan hanya soal pelambangan fonem dengan huruf saja, tetapi juga mengatur tata cara penulisan kata dan kalimat, beserta dengan tanda-tanda bacanya.[3] Termasuk di dalamnya: penulisan kata dasar, kata turunan, kata ulang, gabungan kata, kata depan dan partikel lain, angka dan bilangan; serta penulisan unsur serapan atau pungutan.
Layaknya sebuah tulisan, selain
kejelasan, kelugasan, dan komunikatif, ada juga ejaan. Ejaan mempunyai peranan
yang cukup besar dalam sebuah tulisan. Di dalam penulisan artikel ilmiah,
masalah ejaan harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Jadi, pemakaian tanda baca juga tercantum
dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan (EYD) itu. Kapan kita menggunakan tanda titik, koma,
titik koma, titik dua, dan ellipsis; kapan pula kita menggunakan tanda kurung,
tanda pisah, tanda hubung, dan seterusnya. Namun, untuk keperluan penulisan
karya ilmiah, pemakaian ejaan dan tanda baca itu juga diwarnai oleh kebijakan gaya selingkung.
2.1
Ejaan Van Ophuijsen
Pembakuan ejaan telah
dimulai tahun 1901 ditetapkan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang
disebut Ejaan van Ophuijsen atau Ejaan Balai Pustaka. Van Ophuijsen merancang
ejaan itu dibantu oleh Tengku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim[4]
dalam buku Kitab Logat Melajoe.[5]
Hal-hal yang menonjol dalam ejaan van Ophuijsen adalah (1) Huruf j
untuk menuliskan kata-kata jang,
pajah, sajang, (2) Huruf oe untuk
menuliskan kata-kata goeroe, itoe,
oemoer, (3) Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk
menuliskan kata-kata ma’moer,’akal, ta’,
pa’.
2.2
Ejaan Soewandi/Ejaan Republik
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi
diresmikan untuk menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh
masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui
sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah (1) Huruf oe diganti dengan u,
seperti pada guru, itu, umur, (2)
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak,
pak, maklum, rakyat, (3) Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, berjalan2, ke-barat2-an, (4) Awalan di- dan kata depan di
kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata
depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.[6]
2.3
Ejaan Melindo (Melayu- Indonesia)
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia
dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep
ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo
(Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya
mengurungkan peresmian ejaan itu.
2.4
Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden
Republik Indonesia
meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu
berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan
pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi,
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya
tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat
putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut
direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat
Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September
1987.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan
sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah (1)
Perubahan huruf dari Ejaan Soewandi menjadi Ejaan yang Disempurnakan, yaitu dj > j, j > y, nj > ny, sj > sy,
tj > c, dan ch > k, (2)
Huruf-huruf f, v, dan z, yang
sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad
asing, diresmikan pemakaiannya, (3) Huruf-huruf q dan x yang lazim
digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai, (4) Penulisan di- atau ke- sebagai
awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya,
sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah
dengan yang mengikutinya, (5) Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak
boleh digunakan angka 2.
Sebagai penulis, kita harus tunduk pada
EYD untuk pedoman dalam penggunaan Ejaan. Dalam penulisan ilmiah, Wahyu Wibowo
dalam Tim Penulis (Dosen PBSI) menjelaskan bahwa masalah ejaan yang sering
muncul adalah (1) penulisan preposisi “di”, “ke”, “dari”, (2) penulisan
gabungan kata, (3) penulisan akronim, (4) penulisan nama geografi, dan (5)
penulisan kata yang lazim.[7]
2.4.1
Penulisan Preposisi (Kata Depan)
“di”, “ke”, “dari”
Kata “di”, “ke”, ”dari”, di atas dapat
berupa preposisi dan dapat berupa afiksasi. Penulisan preposisi seharusnya
dipisah dari huruf yang mengikuti. Namun penulisan afiksasi harus disambung
dengan kata yang mengikutinya. Pada praktiknya sulit membedakan kapan disambung
dan kapan dipisah. Untuk membedakan kedua istilah itu, dapat digunakan alat
pengetes.
Jika “di”, “ke”, “dari”, berfungsi
sebagai preposisi yang dituliskan terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dapat dipasangkan dengan ketiganya. Namun,
penulisan “di”, “ke”, “dari”, yang berfungsi sebagai afiks, dituliskan
menyambung dengan kata yang mengikutinya. Caranya kembalikan ke dalam bentuk
kalimat aktif me- khususnya yang berasal dari afiks di-.
2.4.2
Penulisan Gabungan Kata
Penulisan gabungan kata sangat
menyulitkan bagi penulis yang belum memahami. Gabungan kata yang lazim disebut
kata majemuk. Gabungan kata ini ada yang penulisannya dirangkai dan ada juga
yang ditulis terpisah. Gabungan kata yang ditulis terpisah seperti meja tulis,
orang tua, dan rumah sakit. Namun yang ditulis serangkai seperti bilamana,
daripada, manakala dan matahari.
Pada bentuk lain gabungan kata atau
sering disebut dengan kata bentukan ditulis terpisah seperti kerja sama, kambing hitam, sebar luas, tanda
tangan, dan tanggung jawab. Namun
gabungan kata ini jika mendapat imbuhan di awal atau di akhir akan berubah
sesuai dengan imbuhannya.
Contoh: Sama, bekerja sama,
dikerjasamakan
Kambing
hitam, dikambinghitamkan, mengambinghitamkan
2.4.3
Penulisan Singkatan dan Akronim
Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan
terdiri atas satu huruf atau lebih. [8]
1.
Singkatan
nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda
titik.
2.
Singkatan
nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta
nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf
kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
3.
Singkatan
umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik.
4.
Lambang
kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti
tanda titik.
Akronim adalah singkatan yang berupa
gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata
dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
a.
Akronim
nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital.
Misalnya: ABRI, LAN, PASI, IKIP, SIM
b.
Akronim
nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari
deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.
Misalnya: Akabri, Bappenas, Iwapi,
Kowani, Sespa.
c.
Akronim
yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil
Misalnya: pemilu, radar, rudal, tilang
Jika dianggap perlu membentuk akronim,
hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim
jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. (2)
Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan
yang sesuai dengan pola kata Indonesia
yang lazim.
2.4.4
Penulisan Nama Geografi
Nama geografi ditulis menggunakan huruf
pertama kapital. Nama geografi ditulis dalam satu suku kata atau serangkai dan
yang berupa arah mata angin ditulis tidak serangkai.
Contoh: Bukittinggi, Sawahlunto, Baturaja, Jayawijaya
Arah mata angin digunakan sebagai nama
geografi juga tetap ditulis terpisah meskipun nama wilayah itu hanya terdiri
atas dua unsur.
Contoh: Jakarta
Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatra Selatan.
2.4.5
Penulisan Kata yang Lazim
Penulisan kata yang lazim adalah kata
yang sudah dikenal oleh masyarakat. Kata yang lazim sering sejalan dengan kata
yang baku,
yakni kata yang baik dan resmi. Dengan demikian kata yang tidak resmi
kemunculannya dalam tulisan ilmiah harus dihindari. Kata-kata itu dapat berupa
kata kedaerahan seperti
“bilang”
“banget”
“ngebaca”
Berkaitan dengan ejaan dan pembentukan
kata, sebagai penulis artikel ilmiah hendaknya tidak mengabaikan peristilahan.
2.4.6
Penulisan Angka
1
Angka
dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim
digunakan angka Arab atau angka Romawi.
Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X
L (50), C
(100), D (500), M (1.000)
2
Angka
digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (ii)
satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.
Misalnya: 4
meter, 5 kilogram, 10 liter, Rp. 5.000,00, pukul 15.00, 27 orang
3
Angka
lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada
alamat.
Misalnya: Jalan
Tanah Abang I No. 15
4
Angka
digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci
Misalnya: Surah
Yasin: 9; Bab X, Pasal 5, halaman 252.[9]
2.4.7
Penulisan Kata Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia
menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari
bahasa asing, seperti Sanskekrkta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris.
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat
dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya
terserap ke dalam bahasa Indonesia,
seperti reshuffle, shuttle cock,
l’exploitation de l’homme par l’homme. Unsur-unsur ini dipakai dalam
konteks bahasa Indonesia,
tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan
dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan
agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat
dibandingkan dengan bentuk asalnya.(EYD,21)
Di samping itu, akhiran yang berasal dari
bahasa asing diserap sebagai bagian kata yang utuh. Kata seperti standardisasi, implementasi, dan objektif diserap secara utuh di samping
kata standar, implement, dan objek
Berikut ini didaftarkan sebagian kata
asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang sering digunakan
oleh pemakai bahasa.[10]
Kata Asing Penyerapan
yang Salah Penyerapan
yang Benar
System sistim sistem
Kuitantie kwitansi kuitansi
Carier karir karier
2.4.8
Penggunaan Pungtuasi (Tanda Baca)
Pungtuasi ialah tanda baca yang dibakukan
ke dalam tulisan agar makna dan satuannya dalam konstruksi menjadi lebih jelas.
Termasuk di dalamnya: penulisan tanda titik, tanda koma, tanda titik dua, tanda
elipsis, tanda tanya, tanda kurung, tanda petik, dan tanda garis miring.
2.5
Bahan Baku Istilah Indonesia
Tidak ada satu bahasa pun yang sudah
memiliki kosa kata yang lengkap dan tidak memerlukan ungkapan untuk gagasan,
temuan, atau rekacipta yang baru. Bahasa Inggris yang kini dianggap bahasa
internasional utama, misalnya, pernah menyerap kata dan ungkapan dari bahasa
Yunani, Latin, Prancis, dan bahasa lain, yang jumlahnya hamper tiga perlima
dari seluruh kosakatanya. Sejalan dengan itu, bahan istilah Indonesia diambil
dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yakni
(1) bahasa Indonesia, termasuk unsur serapannya, dan bahasa Melayu, (2) bahasa
Nusantara yang serumpun, termasuk bahasa Jawa Kuno, dan (3) bahasa asing,
seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Istilah yang mengungkapkan konsep hasil
galian ilmuwan dan pandit Indonesia, seperti bhinneka tunggal ika, batik, banjar, sawer, gunungan, dan pamor, telah lama diterima secara luas
sehingga dapat dimantapkan dan hasilnya dikodifikasi.
Pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia,
dan jika perlu ke salah satu bahasa serumpun, dilakukan lewat penerjemahan,
penyerapan, atau gabungan dari penerjemanan dan penyerapan. Demi keseragaman,
sumber rujukan yang diutamakan ialah istilah Inggris yang pemakaiannya bersifat
internasional karena sudah dilazimkan oleh para ahli dalam bidangnya. Penulisan
istilah serapan itu dilakukan dengan atau tanpa penyesuaian ejaannya
berdasarkan kaidah fonotaktik, yakni hubungan urutan bunyi yang diizinkan dalam
bahasa Indonesia.
1)
Penerjemahan
Istilah Indonesia dapat dibentuk lewat
penerjemahan berdasarkan kesesuaian makna, tetapi bentuknya tidak sepadan,
misalnya: supermarket menjadi pasar swalayan, merger menjadi gabung usaha.Penerjemahan dapat pula
dilakukan berdasarkan kesesuaian bentuk dan makna, misalnya: bonded zone menjadi kawasan berikat.
Penerjemahan istilah asing memiliki
beberapa keuntungan. Selain memperkaya kosa kata Indonesia
dengan sinonim, istilah terjemahan juga meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia.
Jika timbul kesulitan dalam penyerapan istilah asing yang bercorak Anglo-Sakson
karena perbedaan antara lafal dan ejaannya, penerjemahan merupakan jalan keluar
terbaik. Dalam pembentukan istilah lewat penerjemahan perlu diperhatikan
pedoman berikut.
a.
Penerjemahan
tidak harus berasas satu kata diterjemahkan dengan satu kata. Misalnya: psychologist menjadi ahli psikologi
b.
Istilah
asing dalam bentuk positif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk positif, sedangkan istilah
dalam bentuk negatif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk negatif pula.
Misalnya: bound form menjadi bentuk
terikat
c.
Kelas
kata istilah asing dalam penerjemahan sedapat-dapatnya dipertahankan pada
istilah terjemahannya. Misalnya: merger
(nomina) menjadi gabung usaha
(nomina)
d.
Dalam
penerjemahan istilah asing dengan bentuk plural, pemarkah kejamakannya
ditanggalkan pada istilah Indonesia.
Misalnya: alumni menjadi lulusan, master of ceremonies menjadi pengatur acara
Adakalanya upaya pemadanan istilah asing
perlu dilakukan dengan menciptakan istilah baru. Misalnya, pemadanan catering menjadi jasa boga dan invention menjadi
rekacipta diperoleh lewat perekaan.[11]
2)
Penyerapan
Penyerapan istilah asing untuk menjadi
istilah Indonesia
dilakukan berdasarkan hal-hal berikut.
a.
Istilah
asing yang akan diserap meningkatkan ketersalinan bahasa asing dan bahasa
Indonesia secara timbal balik (intertranslatability)
mengingat keperluan masa depan.
b.
Istilah
asing yang akan diserap mempermudah pemahaman teks asing oleh pembaca Indonesia
karena dikenal lebih dahulu.
c.
Istilah
asing yang akan diserap lebih ringkas jika dibandingkan dengan terjemahan
Indonesianya.
d.
Istilah
asing yang akan diserap mempermudah kesepakatan antarpakar jika padanan
terjemahannya terlalu banyak sinonimnya.
e.
Istilah
asing yang akan diserap lebih cocok dan tepat karena tidak mengandung konotasi
buruk.
Proses penyerapan istilah asing, dengan
mengutamakan bentuk visualnya, dilakukan dengan cara yang berikut.
a.
Penyerapan
dengan penyesuaian ejaan dan lafal, misalnya: camera [kæměra] menjadi kamera
[kamera]
b.
Penyerapan
dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, misalnya: design [disaīn] menjadi desain [desain]
c.
Penyerapan
tanpa penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian lafal, misalnya: radar [reidar] menjadi radar [radar]
d.
Penyerapan
tanpa penyesuaian ejaan dan lafal
(1)
Penyerapan
istilah asing tanpa penyesuaian ejaan dan lafal dilakukan jika ejaan dan lafal
istilah asing itu tidak berubah dalam banyak bahasa modern, istilah itu dicetak
dengan huruf miring. Misalnya: divide et
impera,esprit de corps, status quo
(2)
Penyerapan
istilah tanpa penyesuaian ejaan dan lafal dilakukan jika istilah itu juga
dipakai secara luas dalam kosakata umum, istilah itu tidak ditulis dengan huruf
miring (dicetak dengan huruf tegak). Misalnya: internet, golf, lift, sonar.[12]
3)
Gabungan Penerjemahan dan Penyerapan
Istilah bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan
menerjemahkan dan menyerap istilah asing sekaligus, misalnya: bound morpheme menjadi morfem terikat, subdivision menjadi subbagian.[13]
[1] Zaenal
A. dan Amran Tasai.. h.170.
[2] Abdul
Chaer. h. 36.
[3] E.
Kosasih. Kompetensi Ketatabahasaan dan
Kesusastraan. Bandung:
Yrama Widya, 2004. h. 200.
[4] Abdul
Chaer dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik.
Jakarta: Rineka
Cipta, 1995. h. 306-307.
[5] Gorys
Keraf. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah, 1985. h. 48.
[6] Zaenal
A. dan Amran\ Tasai. Cermat Berbahasa
Indonesia.2003. h. 170-173.
[7] Tim
Penulis (Dosen PBSI). h.
[8] As’ad
Sungguh. Ejaan Yang Disempurnakan. Jakarta: Bumi Aksara,
2001. h. 15.
[9] EYD. h.
18.
[10] Zaenal
A. dan Amran Tasai. h. 202.
[11] Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. h. 3-6.
[12] Ibid.,
h. 6-8.
[13] Ibid.,
h. 20.
daftar pustaka untuk buku Abdul Chaer 1998?
BalasHapus