Selamat Datang di blog Miftachul Huda Welcome to the blog Miftachul Huda

Minggu, 07 Oktober 2012

2. Ejaan Bahasa Indonesia


        Menurut Zaenal A. dan Amran Tasai (2003: 170) [1]ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana hubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Sedangkan Abdul Chaer (1998: 36) menjelaskan pada hakekatnya ejaan itu tidak lain dari konvensi grafis, perjanjian di antara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya.[2] Biasanya ejaan itu bukan hanya soal pelambangan fonem dengan huruf saja, tetapi juga mengatur tata cara penulisan kata dan kalimat, beserta dengan tanda-tanda bacanya.[3] Termasuk di dalamnya: penulisan kata dasar, kata turunan, kata ulang, gabungan kata, kata depan dan partikel lain, angka dan bilangan; serta penulisan unsur serapan atau pungutan.
Layaknya sebuah tulisan, selain kejelasan, kelugasan, dan komunikatif, ada juga ejaan. Ejaan mempunyai peranan yang cukup besar dalam sebuah tulisan. Di dalam penulisan artikel ilmiah, masalah ejaan harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Jadi, pemakaian tanda baca juga tercantum dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) itu. Kapan kita menggunakan tanda titik, koma, titik koma, titik dua, dan ellipsis; kapan pula kita menggunakan tanda kurung, tanda pisah, tanda hubung, dan seterusnya. Namun, untuk keperluan penulisan karya ilmiah, pemakaian ejaan dan tanda baca itu juga diwarnai oleh kebijakan gaya selingkung.

2.1         Ejaan Van Ophuijsen
Pembakuan ejaan telah dimulai tahun 1901 ditetapkan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen atau Ejaan Balai Pustaka. Van Ophuijsen merancang ejaan itu dibantu oleh Tengku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim[4] dalam buku Kitab Logat Melajoe.[5] Hal-hal yang menonjol dalam ejaan van Ophuijsen adalah (1) Huruf j  untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, (2) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, (3) Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,’akal, ta’, pa’.
2.2        Ejaan Soewandi/Ejaan Republik
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan untuk menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah (1) Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur, (2) Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakyat, (3) Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, berjalan2, ke-barat2-an, (4) Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.[6]
2.3        Ejaan Melindo (Melayu- Indonesia)
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.
2.4        Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah (1) Perubahan huruf dari Ejaan Soewandi menjadi Ejaan yang Disempurnakan, yaitu dj > j, j > y, nj > ny, sj > sy, tj > c, dan ch > k, (2) Huruf-huruf f, v, dan z, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya, (3) Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai, (4) Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan yang mengikutinya, (5) Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.
Sebagai penulis, kita harus tunduk pada EYD untuk pedoman dalam penggunaan Ejaan. Dalam penulisan ilmiah, Wahyu Wibowo dalam Tim Penulis (Dosen PBSI) menjelaskan bahwa masalah ejaan yang sering muncul adalah (1) penulisan preposisi “di”, “ke”, “dari”, (2) penulisan gabungan kata, (3) penulisan akronim, (4) penulisan nama geografi, dan (5) penulisan kata yang lazim.[7]
2.4.1         Penulisan Preposisi (Kata Depan) “di”, “ke”, “dari”
Kata “di”, “ke”, ”dari”, di atas dapat berupa preposisi dan dapat berupa afiksasi. Penulisan preposisi seharusnya dipisah dari huruf yang mengikuti. Namun penulisan afiksasi harus disambung dengan kata yang mengikutinya. Pada praktiknya sulit membedakan kapan disambung dan kapan dipisah. Untuk membedakan kedua istilah itu, dapat digunakan alat pengetes.
Jika “di”, “ke”, “dari”, berfungsi sebagai preposisi yang dituliskan terpisah dari kata yang mengikutinya dan dapat dipasangkan dengan ketiganya. Namun,  penulisan “di”, “ke”, “dari”, yang berfungsi sebagai afiks, dituliskan menyambung dengan kata yang mengikutinya. Caranya kembalikan ke dalam bentuk kalimat aktif me- khususnya yang berasal dari afiks di-.
2.4.2        Penulisan Gabungan Kata
Penulisan gabungan kata sangat menyulitkan bagi penulis yang belum memahami. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk. Gabungan kata ini ada yang penulisannya dirangkai dan ada juga yang ditulis terpisah. Gabungan kata yang ditulis terpisah seperti meja tulis, orang tua, dan rumah sakit. Namun yang ditulis serangkai seperti bilamana, daripada, manakala dan matahari.
Pada bentuk lain gabungan kata atau sering disebut dengan kata bentukan ditulis terpisah seperti kerja sama, kambing hitam, sebar luas, tanda tangan, dan tanggung jawab. Namun gabungan kata ini jika mendapat imbuhan di awal atau di akhir akan berubah sesuai dengan imbuhannya.
Contoh:  Sama, bekerja sama, dikerjasamakan
               Kambing hitam, dikambinghitamkan, mengambinghitamkan
2.4.3        Penulisan Singkatan dan Akronim
Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan terdiri atas satu huruf atau lebih. [8]
1.      Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik.
2.      Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
3.      Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik.
4.      Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
a.       Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Misalnya: ABRI, LAN, PASI, IKIP, SIM
b.      Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.
Misalnya: Akabri, Bappenas, Iwapi, Kowani, Sespa.
c.       Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil
Misalnya: pemilu, radar, rudal, tilang
Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. (2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
2.4.4        Penulisan Nama Geografi
Nama geografi ditulis menggunakan huruf pertama kapital. Nama geografi ditulis dalam satu suku kata atau serangkai dan yang berupa arah mata angin ditulis tidak serangkai.
Contoh:  Bukittinggi, Sawahlunto, Baturaja, Jayawijaya
Arah mata angin digunakan sebagai nama geografi juga tetap ditulis terpisah meskipun nama wilayah itu hanya terdiri atas dua unsur.
Contoh:  Jakarta Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatra Selatan.
2.4.5        Penulisan Kata yang Lazim
Penulisan kata yang lazim adalah kata yang sudah dikenal oleh masyarakat. Kata yang lazim sering sejalan dengan kata yang baku, yakni kata yang baik dan resmi. Dengan demikian kata yang tidak resmi kemunculannya dalam tulisan ilmiah harus dihindari. Kata-kata itu dapat berupa kata kedaerahan seperti
“bilang”
“banget”
“ngebaca”
Berkaitan dengan ejaan dan pembentukan kata, sebagai penulis artikel ilmiah hendaknya tidak mengabaikan peristilahan.
2.4.6        Penulisan Angka
1        Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
Angka Arab           : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi      : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X
                                       L (50), C (100), D (500), M (1.000)
2        Angka digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.
Misalnya: 4 meter, 5 kilogram, 10 liter, Rp. 5.000,00, pukul 15.00, 27 orang
3        Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat.
Misalnya: Jalan Tanah Abang I No. 15
4        Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci
Misalnya: Surah Yasin: 9; Bab X, Pasal 5, halaman 252.[9]
2.4.7        Penulisan Kata Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sanskekrkta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, l’exploitation de l’homme par l’homme. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.(EYD,21)
Di samping itu, akhiran yang berasal dari bahasa asing diserap sebagai bagian kata yang utuh. Kata seperti standardisasi, implementasi, dan objektif diserap secara utuh di samping kata standar, implement, dan objek
Berikut ini didaftarkan sebagian kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang sering digunakan oleh pemakai bahasa.[10]
Kata Asing                  Penyerapan yang Salah                        Penyerapan yang Benar
System                         sistim                                                   sistem
Kuitantie                     kwitansi                                               kuitansi
Carier                           karir                                                     karier
2.4.8        Penggunaan Pungtuasi (Tanda Baca)
Pungtuasi ialah tanda baca yang dibakukan ke dalam tulisan agar makna dan satuannya dalam konstruksi menjadi lebih jelas. Termasuk di dalamnya: penulisan tanda titik, tanda koma, tanda titik dua, tanda elipsis, tanda tanya, tanda kurung, tanda petik, dan tanda garis miring.
2.5        Bahan Baku Istilah Indonesia
Tidak ada satu bahasa pun yang sudah memiliki kosa kata yang lengkap dan tidak memerlukan ungkapan untuk gagasan, temuan, atau rekacipta yang baru. Bahasa Inggris yang kini dianggap bahasa internasional utama, misalnya, pernah menyerap kata dan ungkapan dari bahasa Yunani, Latin, Prancis, dan bahasa lain, yang jumlahnya hamper tiga perlima dari seluruh kosakatanya. Sejalan dengan itu, bahan istilah Indonesia diambil dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yakni (1) bahasa Indonesia, termasuk unsur serapannya, dan bahasa Melayu, (2) bahasa Nusantara yang serumpun, termasuk bahasa Jawa Kuno, dan (3) bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Istilah yang mengungkapkan konsep hasil galian ilmuwan dan pandit Indonesia, seperti bhinneka tunggal ika, batik, banjar, sawer, gunungan, dan pamor, telah lama diterima secara luas sehingga dapat dimantapkan dan hasilnya dikodifikasi.
Pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, dan jika perlu ke salah satu bahasa serumpun, dilakukan lewat penerjemahan, penyerapan, atau gabungan dari penerjemanan dan penyerapan. Demi keseragaman, sumber rujukan yang diutamakan ialah istilah Inggris yang pemakaiannya bersifat internasional karena sudah dilazimkan oleh para ahli dalam bidangnya. Penulisan istilah serapan itu dilakukan dengan atau tanpa penyesuaian ejaannya berdasarkan kaidah fonotaktik, yakni hubungan urutan bunyi yang diizinkan dalam bahasa Indonesia.
1)      Penerjemahan
Istilah Indonesia dapat dibentuk lewat penerjemahan berdasarkan kesesuaian makna, tetapi bentuknya tidak sepadan, misalnya: supermarket menjadi pasar swalayan, merger menjadi gabung usaha.Penerjemahan dapat pula dilakukan berdasarkan kesesuaian bentuk dan makna, misalnya: bonded zone menjadi kawasan berikat.
Penerjemahan istilah asing memiliki beberapa keuntungan. Selain memperkaya kosa kata Indonesia dengan sinonim, istilah terjemahan juga meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia. Jika timbul kesulitan dalam penyerapan istilah asing yang bercorak Anglo-Sakson karena perbedaan antara lafal dan ejaannya, penerjemahan merupakan jalan keluar terbaik. Dalam pembentukan istilah lewat penerjemahan perlu diperhatikan pedoman berikut.
a.       Penerjemahan tidak harus berasas satu kata diterjemahkan dengan satu kata. Misalnya: psychologist menjadi ahli psikologi
b.      Istilah asing dalam bentuk positif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk positif, sedangkan istilah dalam bentuk negatif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk negatif pula. Misalnya: bound form  menjadi bentuk terikat
c.       Kelas kata istilah asing dalam penerjemahan sedapat-dapatnya dipertahankan pada istilah terjemahannya. Misalnya: merger (nomina) menjadi gabung usaha (nomina)
d.      Dalam penerjemahan istilah asing dengan bentuk plural, pemarkah kejamakannya ditanggalkan pada istilah Indonesia. Misalnya: alumni menjadi lulusan, master of ceremonies menjadi pengatur acara
Adakalanya upaya pemadanan istilah asing perlu dilakukan dengan menciptakan istilah baru. Misalnya, pemadanan catering menjadi jasa boga dan invention menjadi rekacipta diperoleh lewat perekaan.[11]
2)     Penyerapan
Penyerapan istilah asing untuk menjadi istilah Indonesia dilakukan berdasarkan hal-hal berikut.
a.       Istilah asing yang akan diserap meningkatkan ketersalinan bahasa asing dan bahasa Indonesia secara timbal balik (intertranslatability) mengingat keperluan masa depan.
b.      Istilah asing yang akan diserap mempermudah pemahaman teks asing oleh pembaca Indonesia karena dikenal lebih dahulu.
c.       Istilah asing yang akan diserap lebih ringkas jika dibandingkan dengan terjemahan Indonesianya.
d.      Istilah asing yang akan diserap mempermudah kesepakatan antarpakar jika padanan terjemahannya terlalu banyak sinonimnya.
e.       Istilah asing yang akan diserap lebih cocok dan tepat karena tidak mengandung konotasi buruk.
Proses penyerapan istilah asing, dengan mengutamakan bentuk visualnya, dilakukan dengan cara yang berikut.
a.       Penyerapan dengan penyesuaian ejaan dan lafal, misalnya: camera [kæměra] menjadi kamera [kamera]
b.      Penyerapan dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, misalnya: design [disaīn] menjadi desain [desain]
c.       Penyerapan tanpa penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian lafal, misalnya: radar [reidar] menjadi radar [radar]
d.      Penyerapan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal
(1)   Penyerapan istilah asing tanpa penyesuaian ejaan dan lafal dilakukan jika ejaan dan lafal istilah asing itu tidak berubah dalam banyak bahasa modern, istilah itu dicetak dengan huruf miring. Misalnya: divide et impera,esprit de corps, status quo
(2)   Penyerapan istilah tanpa penyesuaian ejaan dan lafal dilakukan jika istilah itu juga dipakai secara luas dalam kosakata umum, istilah itu tidak ditulis dengan huruf miring (dicetak dengan huruf tegak). Misalnya: internet, golf, lift, sonar.[12]



3)     Gabungan Penerjemahan dan Penyerapan
Istilah bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan menerjemahkan dan menyerap istilah asing sekaligus, misalnya: bound morpheme menjadi morfem terikat, subdivision menjadi subbagian.[13]


[1] Zaenal A. dan Amran Tasai.. h.170.
[2] Abdul Chaer. h. 36.
[3] E. Kosasih. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya, 2004. h. 200.
[4] Abdul Chaer dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. h. 306-307.
[5] Gorys Keraf. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah, 1985. h. 48.
[6] Zaenal A. dan Amran\ Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia.2003. h. 170-173.
[7] Tim Penulis (Dosen PBSI). h.
[8] As’ad Sungguh. Ejaan Yang Disempurnakan. Jakarta: Bumi Aksara, 2001. h. 15.
[9] EYD. h. 18.
[10] Zaenal A. dan Amran Tasai. h. 202.
[11] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. h. 3-6.
[12] Ibid., h. 6-8.
[13] Ibid., h. 20.

1 komentar: